Rabu, 21 Desember 2011

Angiofibroma Nasofaring Juvenile

- PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngealangiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.

- ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

 
- INSIDENS
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.

- ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

- LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.

- PATOLOGI
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.

- PENYEBARAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

- GEJALA KLINIS
Gejala :
1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki.
2. Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan umur lebih dari dua puluh lima tahun.
3. Obstruksi nasal. Gejala yang paling sering, terutama pada tadium awal.
4. Epistaksis. Kebanyakan unilateral dan rekuren; biasanya epistaksis berat memerlukan perhatian medis; diagnosis dari angiofibroma pada laki-laki remaja dipertimbangkan.
5. Sakit kepala. Terutama jika sinus-sinus paranasalis tersumbat.
6. Muka bengkak.
7. Gejala lainnya termasuk rinore unilateral, anosmia, hiposmia, rinolalia, otalgia, pembengkakan dari palatum, dan deformitas pipi.
Tanda-tanda :
1. Massa di cavum nasi.
2. Massa di Orbita.
3. Proptosis.
4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius. Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang dilaporkan.

- PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
2. Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
3. Pemeriksaan Radiologis
- FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.
- CT SCAN
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
- MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
- ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

- STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC :
  • Stadium I : Tumor di nasofaring.
  • Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
  • Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
  • Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :
  • Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  • Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi tulang.
  • Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus.
  • Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.
- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid); perluasan minimal intrakranial.
- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.

- PENGOBATAN
A. EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
B. OPERASI
Digunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).
-Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.
-Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor.
-Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
-Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan sinus-sinus paranasali.
C. RADIOTERAPI
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
D. HORMONAL
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.

  1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).
  2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
  3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
- PROGNOSIS
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %

Selasa, 22 November 2011

Glaukoma

A. PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Trauma seperti debu sekecil apapun yang masuk kedalam mata, sudah cukup untuk menimbulkan gangguan yang hebat, apabila keadaan ini diabaikan, dapat menimbulkan penyakit yang sangat gawat. Salah satu penyakit mata yaitu glaukoma.

Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang.

Di seluruh dunia glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang tinggi, 2 % penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma dapat juga didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang. Pria lebih sering terserang dari pada wanita.

Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi 4 bagian ; glaukoma primer, glaukoma kongenital, glaukoma sekunder dan glaukoma absolut sedangkan berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular glaukoma dibagi menjadi dua, yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup.

Glaukoma berkembang saat pengeluaran cairan aqueous (out flow) dari bilik mata depan terganggu sehingga terjadi penumpukan aqueous didalam bola mata yang mempertinggi tekanan bola mata. Untuk mendiagnosis seseorang sebagai penderita glaukoma harus dilakukan anamnesis dan serangkaian pemeriksaan yang umum dilakukan. Pemeriksaan tersebut meliputi tonometri, oftalmoskopi, gonioskopi, pemeriksaan lapang pandang. Pada keadaan dimana seseorang dicurigai menderita glaukoma dilakukan tes provokasi, seperti tes minum air (water drinking test).

Glaukoma merupakan penyakit yang tidak dapat dicegah, namun bila diketahui secara dini dan diobati maka glaukoma dapat diatasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Penemuan dan pengobatan sebelum terjadinya gangguan penglihatan adalah cara terbaik untuk mengontrol glaukoma.

Glaukoma dapat bersifat akut dengan gejala yang sangat nyata dan bersifat kronik yang hampir tidak menunjukkan gejala, seorang dokter harus mampu mengenali gejala dan tanda glaukoma sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat.

B. DEFENISI
Glaukoma merupakan sekelompok penyakit neurooptic yang menyebabkan kerusakan serat optik (neuropati optik), yang ditandai dengan kelainan atau atrofi papil nervus opticus yang khas, adanya ekskavasi glaukomatosa, serta kerusakan lapang pandang dan biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan intraokular sebagai faktor resikonya.

C. EPIDEMIOLOGI
Diseluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang tertinggi, 2% penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma dapat juga didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang. Pria lebih banyak diserang daripada wanita.

Di seluruh dunia, kebutaan menempati urutan ketiga sebagai ancaman yang menakutkan setelah kanker dan penyakit jantung koroner.3 Di Amerika Serikat, kira-kira 2.2 juta orang pada usia 40 tahun dan yang lebih tua mengidap glaukoma, sebanyak 120,000 adalah buta disebabkan penyakit ini. Banyaknya Orang Amerika yang terserang glaukoma diperkirakan akan meningkatkan sekitar 3.3 juta pada tahun 2020. Tiap tahun, ada lebih dari 300,000 kasus glaukoma yang baru dan kira-kira 5400 orang-orang menderita kebutaan. Glaukoma akut (sudut tertutup) merupakan 10-15% kasus pada orang Kaukasia. Persentase ini lebih tinggi pada orang Asia, terutama pada orang Burma dan Vietnam di Asia Tenggara. Glaukoma pada orang kulit hitam, lima belas kali lebih menyebabkan kebutaan dibandingkan orang kulit putih.

Diketahui bahwa angka kebutaan di Indonesia menduduki peringkat pertama untuk kawasan Asia Tenggara. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% atau sekitar 3 juta orang. Persentase itu melampaui Negara Asia lainnya seperti Bangladesh dengan 1%, India 0,7% dan Thailand 0,3%.5 Menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996, kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak (0,78%), glaukoma (0,2%), kelainan refraksi (0,14%) dan penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut (0,38%).

D. FAKTOR RESIKO
1. Tekanan intarokuler yang tinggi
Tekanan intraokulera/bola mata di atas 21 mmHg berisiko tinggi terkena glaukoma. Meskipun untuk sebagian individu, tekanan bola mata yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik.
2. Umur
Risiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2% dari populasi 40 tahun yang terkena glaukoma
3. Riwayat glaukoma dalam keluarga
Glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita galukoma mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terkena glaukoma. Risiko terbesar adalah kakak-beradik kemudian hubungan orang tua dan anak-anak.
4. Obat-obatan
Pemakaian steroid secara rutin, misalnya pemakaian tetes mata yang mengandung steroid yang tidak terkontrol dapat menginduksi terjdinya glaukoma.
5. Riwayat trauma pada mata
6. Riwayat penyakit lain
Riwayat penyakit Diabetes, Hipertensi

E. KLASIFIKASI
Sugar mengklasifikasikan glaucoma menjadi:
1. Glaukoma Primer
a. Dewasa
- Glaukoma simpleks (glaucoma sudut terbuka, glaucoma kronis)
- Glaucoma akut (sudut tertutup)
b. Kongenital/Juvenil

2. Glaukoma Sekunder
a. Sudut tertutup
b. Sudut terbuka

Pada umumnya glaukoma dapat dibagi berdasarkan, yaitu :
1. Tidak terdapat kelainan di dalam bola mata yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yaitu glaukoma primer sudut terbuka dan tertutup
2. Terdapat kelainan di dalam bola mata yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (inflamasi, trauma, perdarahan, trauma, tumor, pengobatan) yaitu glaukoma sekunder sudut terbuka dan tertutup
3. Cedera kontusio bola mata dapat disertai peningkatan dini tekanan intraocular akibat perdarahan ke bilik mata depan (hifema). Darah bebas menyumbat jalinan trabekular, yang juga mengalami edema akibat cedera.
4. Glaukoma yang terjadi dimana terdapat diskus nervus optik yang glaucomatous dengan tekanan intra okuler yang normal atau yang disebut dengan normo tension glaucoma.

Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diketahui penyebabnya. Dapat disebabkan atau dihubungkan dengan keadaan-keadaan atau penyakit yang telah diderita sebelumnya atau pada saat itu, yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intaokuler.

Penyakit-penyakit yang diderita tersebut dapat memberikan kelainan pada :
- Badan siliar : luksasi lensa ke belakang
- Pupil : seklusio pupil, glaukoma yang diinduksi miotik
- Sudut bilik mata depan : goniosinekia.
- Saluran keluar aqueous : myopia

Glaukoma sekunder dibagi menjadi dua yaitu :
1. Glaucoma sekunder sudut terbuka
2. Glaucoma sekunder sudut tertutup

1. Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Glaukoma dimana tidak terdapatnya kelainan pada pangkal iris serta kornea perifer melainkan terhambatnya aliran humor aquos di jalinan trabekuler. Bentuk dari glaucoma sekunder sudut terbuka antara lain;
a. Glaukoma pigmentasi
Sindrom ini tampaknya disebabkan oleh degenerasi epitel pigmen iris dan korpus siliaris. Granula pigmen terkelupas dari iris akibat friksi dengan serat-serat zonular di bawahnya sehingga terjadi transiluminasi iris. Pigmen mengendap di permukaan kornea posterior (Krukenberg’s spindle) dan tersangkut di jalinan trabekular, mengganggu aliran keluar humor aquos. Sindrom ini terjadi paling sering pada pria miopia usia antara 25-40 tahun yang memiliki bilik mata depan yang dalam dengan sudut bilik mata yang lebar.

b. Sindrom pseudo-exfoliasi
Pada sindrom eksfoliasi, dijumpai endapan-endapan bahan berserat mirip serpihan di permukaan lensa anterior (berbeda dengan eksfoliasi kapsul lensa sejati akibat pajanan terhadap radiasi inframerah, yakni “katarak glass blower’), prosesus siliaris, zonula, permukaan posterior iris, dam di jalinan trabekular (disertai peningkatan pigmentasi). Penyakit ini biasanya dijumpai pada orang berusia lebih dari 65 tahun.

c. Glaukoma akibat steroid
Kortikosteroid topikal dan periokular dapat menimbulkan sejenis glaucoma yang mirip dengan glaukoma primer sudut terbuka, terutama pada individu dengan riwayat penyakit ini pada keluarga dan akan memperparah peningkatan tekanan intraokuler pada para pengidap glaukoma primer sudut terbuka. Hal ini kemungkinan disebabkan karena meningkatnya deposit mukopolisakarida yang terdapat pada humor aquos sehingga drainasenya terganggu.

d. Glaukoma Fakolitik
Sebagian katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran kapsul lensa anterior, sehingga protein-protein lensa yang mencair masuk ke bilik mata depan. Jalinan trabekular menjadi oedema dan tersumbat oleh protein-protein lensa dan menimbulkan peningkatan mendadak tekanan intraokular.

2. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup
Glaukoma sekunder sudut tertutup sama halnya dengan glaukoma primer sudut tertutup, dimana terjadinya peninggian tekanan intraokuler disebabkan adanya hambatan atau blokade pada trabekular meshwork. Penyebab dari glaukoma sekunder sudut tertutup antara lain ;
a. Uveitis
Pada uveitis, tekanan intraokuler biasanya lebih rendah daripada normal karena korpus siliaris yang meradang kurang berfungsi dengan baik. Namun, juga dapat terjadi peningkatan tekanan intraokuler melalui beberapa mekanisme yang berlainan. Jalinan trabekular dapat tersumbat oleh sel-sel radang dari bilik mata depan, disertai edema sekunder atau kadang-kadang terlibat dalam proses peradangan spesifik diarahkan ke sel-sel trabekula (trabekulitis).
Uveitis kronik atau rekuren menyebabkan gangguan permanen fungsi trabekula, sinekia anterior perifer, dan kadang-kadang neovaskularisasi sudut, yang semuanya meningkatkan kemungkinan glaukoma sekunder. Sindorm uveitis yang cenderung timbul karena glaukoma sekunder adalah siklitis heterikromik Fuchs, uveitis anterior akut terkait HLA-B27, dan uveitis herpes zoster dan herpes simpleks.

b. Trauma
Cedera kontusio bola mata dapat disertai peningkatan dini tekanan intraokular akibat perdarahan ke bilik mata depan (hifema). Darah bebas menyumbat jalinan trabekular, yang juga mengalami edema akibat cedera.

F. PATOFISIOLOGI TERJADINYA GLAUKOMA
Setiap hari mata memproduksi sekitar 1 sdt humor aquos yang menyuplai makanan dan oksigen untuk kornea dan lensa dan membawa produk sisa keluar dari mata melalui anyaman trabekulum ke Canalis Schlemm.

Pada keadaan normal tekanan intraokular ditentukan oleh derajat produksi cairan mata oleh epitel badan siliar dan hambatan pengeluaran cairan mata dari bola mata. Pada glaukoma tekanan intraokular berperan penting oleh karena itu dinamika tekanannya diperlukan sekali. Dinamika ini saling berhubungan antara tekanan, tegangan dan regangan.
1. Tekanan
Tekanan hidrostatik akan mengenai dinding struktur (pada mata berupa dinding korneosklera). Hal ini akan menyebabkan rusaknya neuron apabila penekan pada sklera tidak benar.
2. Tegangan
Tegangan mempunyai hubungan antara tekanan dan kekebalan. Tegangan yang rendah dan ketebalan yang relatif besar dibandingkan faktor yang sama pada papil optik ketimbang sklera. Mata yang tekanan intraokularnya berangsur-angsur naik dapat mengalami robekan dibawah otot rektus lateral.
3. Regangan
Regangan dapat mengakibatkan kerusakan dan mengakibatkan nyeri. Tingginya tekanan intraokuler tergantung pada besarnya produksi aquoeus humor oleh badan siliar dan pengaliran keluarnya. Besarnya aliran keluar aquoeus humor melalui sudut bilik mata depan juga tergantung pada keadaan sudut bilik mata depan, keadaan jalinan trabekulum, keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan vena episklera.

Tekanan intraokuler dianggap normal bila kurang daripada 20 mmHg pada pemeriksaan dengan tonometer aplanasi. Pada tekanan lebih tinggi dari 20 mmHg yang juga disebut hipertensi oculi dapat dicurigai adanya glaukoma. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg pasien menderita glaukoma (tonometer Schiotz).

Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris dan korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin.

Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cekungan optikus diduga disebabkan oleh ; gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf pada papil saraf optik (gangguan terjadi pada cabang-cabang sirkulus Zinn- Haller), diduga gangguan ini disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf optic relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi cekungan pada papil saraf optik.

Serabut atau sel syaraf ini sangat tipis dengan diameter kira-kira 1/20.000 inci. Bila tekanan bola mata naik serabut syaraf ini akan tertekan dan rusak serta mati. Kematian sel tersebut akan mengakibatkan hilangnya penglihatan yang permanen.

G. GEJALA KLINIS
a. Fase prodormal (fase nonkongestif)
1) Pengelihatan kabur.
2) Terdapat halo (gambaran pelangi) sekitar lampu.
3) Sakit kepala.
4) Sakit pada mata.
5) Akomodasi lemah.
6) Berlangsung - 2 jam.
7) Injeksi perikornea.
8) Kornea agak suram karena edem.
9) Bilik mata depan dangkal.
10) Pupil melebar.
11) Tekanan intraokuler meningkat.
12) Mata dapat normal juga serangan reda.

b. Fase kongestif
1) Sakit kepala yang hebat sampai muntah-muntah.
2) Palpebra bengkak.
3) Konjungtiva bulbi : hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi konjungtiva.
4) Kornea keruh.
5) Bilik mata depan dangkal.
6) Iris : gambaran, corak bergaris tidak nyata.
7) Pupil : melebar, lonjong, miring agak vertikal, kadang midriasis total, warna kehijauan, refleksi cahaya menurun sekali atau tidak sama sekali.

H. DIAGNOSIS BANDING
Iritis akut dan konjungtivitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada glaukoma sudut tertutup bila ada radang mata akut, meskipun pada kedua hal tersebut di atas jarang disertai bilik mata depan yang dangkal atau tekanan yang meninggi.

1. Pada iriditis akut terdapat lebih banyak fotofobia, tetapi rasa nyerinya kurang jika dibandingkan dengan glaukoma. Tekanan intraokular normal, pupil kecil dan kornea tidak sembab. “Flare” dan sel-sel terlihat didalam bilik mata depan, dan terdapat injeksi siliar dalam (deep ciliary injection).

2. Pada konjungtivitis akut tidak begitu nyeri atau tidak nyeri sama sekali, dan tajam pengelihatan tidak menurun. Ada kotoran mata dan konjungtiva sangat meradang, tetapi tidak ada injeksi siliar. Reksi pupil normal, kornea jernih dan tekanan intraokular normal.

3. Iridosiklitis dengan glaukoma sekunder kadang-kadang sukar dibedakan. Goniuskopi untuk menentukan jenis sudut sangatlah membantu. Jika pengamatan terganggu dengan adanya kekeruhan kornea atau kekeruhan didalam bilik mata depan, maka untuk memastikan diagnosis bisa dilakukan genioskopi pada mata lainnya, dan ini sangat membantu.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk mendiagnosis glaukoma dilakukan sejumlah pemeriksaan yang rutin dilakukan pada seseorang yang mengeluh rasa nyeri di mata, penglihatan dan gejala prodromal lainnya. Pemeriksaan yang dilakukan secara berkala dan dengan lebih dari satu metode akan lebih bermakna dibandingkan jika hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan.
Pemeriksaan tersebut meliputi:

a. Tajam penglihatan
Pemeriksaan ketajaman penglihatan bukan merupakan cara yang khusus untuk glaukoma, namun tetap penting, karena ketajaman penglihatan yang baik, misalnya 6/6 belum berarti tidak glaukoma.

b. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk memeriksa tekanan intraokuler. Ada 3 macam tonometri, yaitu:
1. Digital
Merupakan teknik yang paling mudah dan murah karena tidak memerlukan alat. Caranya dengan melakukan palpasi pada kelopak mata atas, lalu membandingkan tahanan kedua bola mata terhadap tekanan jari. Hasil pemeriksaan ini diinterpretasikan sebagai T.N yang berarti tekanan normal, Tn+1 untuk tekanan yang agak tinggi, dan Tn-1 untuk tekanan yang agak rendah. Tingkat ketelitian teknik ini dianggap paling rendah karena penilaian dan interpretasinya bersifat subjektif.
2. Tonometer Schiotz
Tonometer Schiotz ini bentuknya sederhana, mudah dibawa, gampang digunakan dan harganya murah. Tekanan intraokuler diukur dengan alat yang ditempelkan pada permukaan kornea setelah sebelumnya mata ditetesi anestesi topikal (pantokain). Jarum tonometer akan menunjukkan angka tertentu pada skala. Pembacaan skala disesuaikan dengan kalibrasi dari Zeiger-Ausschlag Scale yang diterjemahkan ke dalam tekanan intraokuler.
3. Tonometer aplanasi Goldmann
Alat ini cukup mahal dan tidak praktis, selain itu memerlukan slitlamp yang juga mahal. Meskipun demikian, di dalam komunikasi internasional, hanya tonometri dengan aplanasi saja yang diakui. Dengan alat ini, kekakuan sclera dapat diabaikan sehingga hasil yang didapatkan menjadi lebih akurat.

c. Genioskopi
     Gonioskopi sangat penting untuk ketepatan diagnosis glaukoma. Gonioskopi dapat menilai lebar sempitnya sudut bilik mata depan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang menderita glaukoma, pada semua pasien suspek glaukoma, dan pada semua individu yang diduga memiliki sudut bilik mata depan yang sempit. Dengan gonioskopi dapat dibedakan glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka, juga dapat dilihat adanya perlekatan iris bagian perifer ke depan (peripheral anterior sinechiae).
     Pada gonioskopi terdapat 5 area spesifik yang dievaluasi di semua kuadran yang menjadi penanda anatomi dari sudut bilik mata depan:
1) Iris perifer, khususnya insersinya ke badan siliar.
2) Pita badan siliar, biasanya tampak abu-abu atau coklat.
3) Taji sklera, biasanya tampak sebagai garis putih prominen di alas pita badan shier.
4) Trabekulum meshwork
5) Garis Schwalbe, suatu tepi putih tipis tepat di tepi trabekula Meshwork. Pembuluh darah umumnya terlihat pada sudut normal terutama pada biru.

d. Lapang Pandang (perimetry)
     Yang termasuk ke dalam pemeriksaan ini adalah lapangan pandang sentral dan lapangan pandang perifer. Pada stadium awal, penderita tidak akan menyadari adanya kerusakan lapangan pandang karena tidak mempengaruhi ketajaman penglihatan sentral. Pada tahap yang sudah lanjut, seluruh lapangan pandang rusak dengan tajam penglihatan sentral masih normal sehingga penderita seolah-olah melihat melalui suatu teropong (tunnel vision).

e. Oftalmoskopi
     Pada pemeriksaan oftalmoskopi, yang harus diperhatikan adalah keadaan papil. Perubahan yang terjadi pada papil dengan glaukoma adalah penggaungan (cupping) dan degenerasi saraf optik (atrofi). Jika terdapat penggaungan lebih dari 0,3 dari diameter papil dan tampak tidak simetris antara kedua mata, maka harus diwaspadai adanya ekskavasio glaukoma.

f. Tonografi
     Tonografi dilakukan untuk mengukur banyaknya cairan aquos yang dikeluarkan melalui trabekula dalam satu satuan waktu

g. Tes Provokasi
Tes ini dilakukan pada keadaan dimana seseorang dicurigai menderita glaukoma. Untuk glaukoma sudut terbuka, dilakukan tes minum air, pressure congestion test, dan tes steroid. Sedangkan untuk glaukoma sudut tertutup, dapat dilakukan tes kamar gelap, tes membaca dan tes midriasis.

Uji lain pada glaukoma
• Uji Kopi
Penderita meminum 1-2 mangkok kopi pekat, bila tekanan bola mata naik 15- 20 mmHg setelah minum 20-40 menit menunjukkan adanya glaukoma.
• Uji Minum Air
Sebelum makan pagi tekanan bola mata diukur dan kemudian pasien disuruh minum dengan cepat 1 liter air. Tekanan bola mata diukur setiap 15 menit. Bila tekanan bola mata naik 8-15 mmHg dalam waktu 45 menit pertama menunjukkan pasien menderita glaukoma.
• Uji Steroid
Pada pasien yang dicurigai adanya glaukoma terutama dengan riwayat glaukoma simpleks pada keluarga, diteteskan betametason atau deksametason 0,1% 3-4 kali sehari. Tekanan bola mata diperiksa setiap minggu. Pada pasien berbakat glaukoma maka tekanan bola mata akan naik setelah 2 minggu.
• Uji Variasi Diurnal
Pemeriksaan dengan melakukan tonometri setiap 2-3 jam sehari penuh, selama 3 hari biasanya pasien dirawat. Nilai variasi harian pada mata normal adalah antara 2-4 mmHg, sedang pada glaukoma sudut terbuka variasi dapat mencapai 15-20 mmHg. Perubahan 4-5 mmHg sudah dicurigai keadaan patologik.
• Uji Kamar Gelap
Pada uji ini dilakukan pengukuran tekanan bola mata dan kemudian pasien dimasukkan ke dalam kamar gelap selama 60-90 menit. Pada akhir 90 menit tekanan bola mata diukur. 55% pasien glaukoma sudut terbuka akan menunjukkan hasil yang positif, naik 8 mmHg.
• Uji provokasi pilokarpin
Tekanan bola mata diukur dengan tonometer, penderita diberi pilokarpin 1% selama 1 minggu 4 kali sehari kemudian diukur tekanannya.

J. PENATALAKSANAAN GLAUKOMA
Sasaran utama pengobatan glaukoma adalah untuk menurunkan tekanan intraokuler sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan lapangan pandang dan ketajaman penglihatan lebih lanjut yang berujung pada kebutaan dengan cara mengontrol tekanan intraokuler supaya berada dalam batasan normal.
Penatalaksanaan glaukoma terdiri dari tiga macam, yaitu medikamentosa, pembedahan dan laser. Pembedahan dan laser dilakukan jika obat-obatan tidak mampu mengontrol tekanan intraokuler.

1. Medikamentosa
Berdasarkan tujuan farmakoterapinya, obat anti glaukoma dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: untuk supresi produksi cairan aquos, meningkatkan aliran keluar cairan aquos, menurunkan volume korpus vitreus.
a). Supresi produksi cairan aquos
- Antagonis adrenergik β
Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan obat lain. Efek samping: pada penggunaan adrenergik sering terjadi reaksi alergi, pandangan kabur, sakit kepala, rasa terbakar di mata, takikardia dan aritmia.
- Agonis adrenergik α
Bekerja untuk mengurangi produksi cairan aquos dan meningkatkan drainase. Efek samping: rasa terbakar di tempat meneteskan obat topikal, midriasis, hipertensi, malaise, sakit kepala, mulut dan hidung terasa kering.
- Inhibitor karbonik anhidrase (CAI)
Bekerja mengurangi produksi cairan aquos sebesar 40-60% dengan menghambat kerja enzim karbonik anhidrase di korpus siliaris. Obat ini bisa diberikan per oral ataupun intravenous. Efek samping: paresethesia di lengan dan tungkai, dispepsia, gangguan ingatan, depresi, batu ginjal, dan polakisuria. Inhibitor karbonik anhidrase diturunkan dari golongan sulfa, sehingga bisa juga menyebabkan aplastik anemia walaupun hal ini jarang terjadi.

b). Meningkatkan aliran keluar cairan aquos
- Parasimpatomimetik
Obat yang digunakan merupakan golongan agonis kolinergik. Bekerja pada anyaman trabekular dengan meningkatkan kontraksi otot siliaris sehingga pupil mengalami miosis. Karena efek inilah maka obat parasimpatomimetik sering juga disebut obat miotik. Kontriksi pupil sangat penting dalam penatalaksanaan glaukoma sudut tertutup. Efek samping: diare, kram perut, hipersalivasi, enuresis dan bisa juga reaksi alergi.

c). Menurunkan volume korpus vitreus
Obat-obat hiperosmotik, seperti gliserin, menyebabkan darah menjadi hipertonik sehingga air tertarik keluar dari korpus vitreus dan terjadi penciutan korpus vitreus. Efek samping: sakit pinggang, sakit kepala, gangguan mental. Pada pasien DM, obat ini bisa menyebabkan hiperglikemia atau bahkan ketoasidosis.

Penatalaksanaan terbaik untuk glaukoma sudut tertutup adalah pembedahan. Terapi medikamentosa hanya merupakan pengobatan pendahuluan sebelum penderita dioperasi. Terapi diberikan sesuai dengan fase penyakit.

Pada fase nonkongestif, penderita diberi golongan parasimpatomimetik, seperti pilokarpin 2-4% tiap 20-30 menit. Dengan demikian diharapkan lensa yang miosis akan menyebabkan iris tertarik ke belakang sehingga sudut bilik mata depan terbuka. Selain itu, bisa juga diberikan golongan inhibitor karbonik anhidrase 3X1 tablet/hari. Obat-obat ini diberikan sampai tekanan intraokuler menjadi normal. Kemudian ada dua pilihan terapi yang dapat dilakukan, yaitu tetap memberikan obat parasimpatomimetik atau melakukan tindakan operasi.

Pada fase kongestif, pengobatan harus dilakukan secepat mungkin. Tekanan intraokuler harus sudah turun dalam 2-4 jam. Jika terlambat 24-48 jam, maka akan terjadi sinekhia anterior perifer sehingga pengobatan dengan parasimpatomimetik tidak berguna lagi.
Obat yang biasa dipakai untuk glaukoma sudut tertutup adalah:
a. Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, setiap menit 1 tetes selama 5 menit. Kemudian diteruskan setiap jam.
b. Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 2 tablet. Kemudian disusul dengan 1 tablet tiap 4 jam.
c. Hiperosmotik: gliserin 50%, 1-1,5 gr/kg yang diberikan per oral. Dengan pengobatan seperti di atas, tekanan dapat turun sampai di bawah 25 mmHg dalam waktu 24 jam. Bila tekanan intraokuler sudah turun, operasi harus dilakukan dalam 2-4 hari kemudian.

Pengobatan glaukoma sudut terbuka diberikan semaksimal mungkin sehingga tercapai tekanan intraokuler normal, ekstravasasi tidak bertambah dan lapangan pandang tidak memburuk. Namun, obat yang diberikan haruslah yang mudah diperoleh dan mempunyai efek samping yang minimal.

Obat yang bisa dipakai untuk glaukoma sudut terbuka adalah :
a. Parasimpatomimetik: pilokarpin 2-4%, 1 tetes, 3-6 kali sehari atau eserin 0,25-0,5%, 1 tetes, 3-6 kali sehari
b. Agonis-α: epinefrin 0,5-2%, 1 tetes, 2 kali sehari
c. β -blocker: timolol maleat 0,25-0,5%, 1 tetes, 1-2 kali sehari
d. Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid 250 mg, 1 tablet, 4 kali sehari
Obat-obat ini biasanya diberikan secara tunggal atau bila perlu dapat dikombinasi. Bila dengan pengobatan tersebut tekanan intraokuler terkontrol dengan baik, maka penderita harus menggunakan obat tersebut seumur hidup. Kalau tidak berhasil, frekuensi penetesan atau dosis obat dapat ditingkatkan.

2. Tindakan pembedahan
Pembedahan ditujukan untuk memperlancar aliran keluar cairan aquos di dalam sistem drainase atau sistem filtrasi sehingga prosedur ini disebut teknik filtrasi.
Pembedahan dapat menurunkan tekanan intraokuler jika dengan medikamentosa tidak berhasil. Walaupun telah dilakukan tindakan pembedahan, penglihatan yang sudah hilang tidak dapat kembali normal, terapi medikamentosa juga tetap dibutuhkan, namun jumlah dan dosisnya menjadi lebih sedikit.
a). Trabekulektomi
Merupakan teknik yang paling sering digunakan. Pada teknik ini, bagian kecil trabekula yang terganggu diangkat kemudian dibentuk bleb dari konjungtiva sehingga terbentuk jalur drainase yang baru. Lubang ini akan meningkatkan aliran keluar cairan aquos sehingga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Tingkat keberhasilan operasi ini cukup tinggi pada tahun pertama, sekitar 70-90% Sayangnya di kemudian hari lubang drainase tersebut dapat menutup kembali sebagai akibat sistem penyembuhan terhadap luka sehingga tekanan intraokuler akan meningkat. Oleh karena itu, terkadang diperlukan obat seperti mitomycin-C and 5-fluorourasil untuk memperlambat proses penyembuhan. Teknik ini bisa saja dilakukan beberapa kali pada mata yang sama.
b). Iridektomi perifer
Pada tindakan ini dibuat celah kecil pada kornea bagian perifer dengan insisi di daerah limbus. Pada tempat insisi ini, iris dipegang dengan pinset dan ditarik keluar. Iris yang keluar digunting sehingga akan didapatkan celah untuk mengalirnya cairan aquos secara langsung tanpa harus melalui pupil dari bilik mata belakang ke bilik mata depan. Teknik ini biasanya dilakukan pada glaucoma sudut tertutup, sangat efektif dan aman, namun waktu pulihnya lama.
c). Sklerotomi dari Scheie
Pada Operasi Scheie diharapkan terjadi pengaliran cairan aquos di bilik mata depan langsung ke bawah konjungtiva. Pada operasi ini dilakukan pembuatan flep konjungtiva di limbus atas (arah jam 12) dan dibuat insisi korneoskleral ke dalam bilik mata depan. Untuk mempertahankan insisi ini tetap terbuka, dilakukan kauterisasi di tepi luka insisi. Kemudian flep konjungtiva ini ditutup. Dengan operasi ini diharapkan terjadinya filtrasi cairan aquos melalui luka korneoskleral ke subkonjungtiva.
d). Cryotherapy surgery
Pada glaukoma absolut badan siliar berfungsi normal memproduksi cairan akuos, tapi arus keluar terhambat untuk satu alasan atau yang lain. Sehingga tekanan intraokular yang tinggi menyebabkan rasa sakit kepada pasien dan menyebabkan mata buta yang menyakitkan. Karena itu, dilakukan dengan cara menghancurkan badan siliar dengan cyclocryotherapy mengarah pada mengurangi pembentukan cairan akuos, menurunkan tekanan intraokular dan memperbaiki rasa sakit. Caranya terlebih dahulu menginjeksikan obat anestesi dibawah permukaan retrobulbar dan injeksi 2% Xylocain, melingkar dan mencembung dari retina (cryo-probe) dengan diameter 4 mm, dilakukan langsung pada permukaan konjungtiva utuh, pusat ujung menjadi 4 mm dari limbus, selama 1 menit pada suhu sekitar-60 ° sampai -65 °, secara langsung di atas tubuh ciliary. Dalam semua kasus, probe diaplikasikan sedemikian rupa sehingga margin es-kawah menyentuh satu sama lain pada setiap aplikasi, dan aplikasi yang diberikan di sekeliling limbus, kecuali dalam dua belas pertama matanya di mana ia diterapkan di bagian atas saja. Setelah cryosurgery mata yang empuk selama 24 jam, dengan menggunakan salep mata chloromphenical yang kemudian dilanjutkan 4 kali sehari. Tidak ada obat anti-inflamasi digunakan baik secara lokal atau sistemik. Hanya analgesik diberikan. Pasca-operasi tekanan intraokular diperiksa setelah 24 jam, pada hari ke 7, hari ke 14, 6 minggu dan 3 bulan setelah operasi. Keunggulan melakukan cyclocryotherapy karena memiliki keunggulan cyclodiathermy suhu subfreezing kurang merusak struktur lain mata, dapat dengan aman diulang beberapa kali, dapat dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.

3. Laser
Pada teknik laser, operator akan mengarahkan sebuah lensa pada mata kemudian sinar laser diarahkan ke lensa itu yang akan memantulkan sinar ke mata. Risiko yang dapat terjadi pada teknik ini yaitu tekanan intraokuler yang meningkat sesaat setelah operasi. Namun hal tersebut hanya berlangsung untuk sementara waktu. Beberapa tindakan operasi yang lazim dilakukan adalah :
a). Laser Iridektomy
Teknik ini biasa digunakan sebagai terapi pencegahan yang aman dan efektif untuk glaukoma sudut tertutup. Dilakukan dengan membuat celah kecil di iris perifer dan mengangkat sebagian iris yang menyebabkan sempitnya sudut bilik mata depan. Beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya laser iridektomy, diantaranya kekeruhan kornea, sudut bilik mata depan yang sangat sempit dengan jaringan iris yang sangat dekat dengan endotel kornea, penderita yang pernah menjalani operasi ini sebelumnya namun gagal dan pada penderita yang tidak bisa diajak bekerja sama.
Pada umumnya komplikasi yang terjadi pada laser iridektomi meliputi kerusakan lokal pada lensa dan kornea, ablasio retina, pendarahan, gangguan visus dan tekanan intra okular meningkat. Kerusakan lensa dihindari dengan cara menghentikan prosedur dan segera penetrasi iris untuk iridektomi lebih ke superior iris perifer
b). Laser Peripheral Iridotomy (LPI)
Dilakukan pada glaukoma sudut tertutup. Pada teknik ini dibuat lubang kecil di iris perifer sehingga iris terdorong ke belakang lalu sudut bilik mata depan akan terbuka.
c). Laser Trabeculoplasty
Dilakukan pada glaucoma sudut terbuka. Sinar laser (biasanya argon) ditembakkan ke anyaman trabekula sehingga sebagian anyaman mengkerut. Kerutan ini dapat mempermudah aliran keluar cairan aquos. Pada beberapa kasus, terapi medikamentosa tetap diperlukan. Tingkat keberhasilan dengan Argon laser trabeculoplasty mencapai 75%. Karena adanya proses penyembuhan luka maka kerutan ini hanya akan bertahan selama 2 tahun.
d). Neodymium : YAG laser cyclophotocoagulation (YAG CP)
Teknik ini digunakan pada glaukoma sudut tertutup. Caranya dengan merusak sebagian corpus siliar sehingga produksi cairan aquos berkurang.

K. KOMPLIKASI
1. Sinekia anterior perifer
Iris perifer melekat pada jalinan trabekel dan menghambat aliran mata keluar.
2. Katarak
Lensa kadang-kadang melekat membengkak, dan bisa terjadi katarak. Lensa yang membengkak mendorong iris lebih jauh kedepan yang akan menambah hambatan pupil dan pada gilirannya akan menambah derajat hambatan sudut.
3. Atrofi retina dan saraf optik
Daya tahan unsure-unsur saraf mata terhadap tekanan intraokular yang tinggi adalah buruk. Terjadi gaung glaukoma pada pupil optik dan atrofi retina, terutama pada lapisan sel-sel ganglion

L. PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total. Apabila obat tetes anti glaukoma dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata yang belum mengalami kerusakan glaukomatosa luas, prognosis akan baik. Apabila proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani dengan baik.